Tuesday, June 24, 2008

Stockholm Syndrome

Bank Kreditbanken di Norrmalmstorg, Stockholm, Sweden
Tempat kejadian dimana syndrome ini diambil namanya
Sumber gambar: wikipedia







Stockholm, 23 Agustus 1973.

Dua orang kriminal membawa senjata mesin masuk ke sebuah bank di Stockholm, Swedia. Sambil menembakkan senjata, seorang narapidana bernama Jan-Erik Olsson berteriak kepada para pegawai bank yang ketakutan "Pesta baru saja dimulai!" Kedua perampok itu menyandera 3 orang perempuan dan seorang lelaki selama 131 jam. Para sandera dikurung dengan dinamit terikat hingga akhirnya dibebaskan pada 28 Agustus.

Setelah dibebaskan, para sandera menunjukkan sikap yang amat mengejutkan, mengingat perlakuan ancaman, pelecehan, dan ketakutan yang mereka alami selama lebih dari lima hari. Saat diwawancarai media terungkap bahwa mereka malah mendukung para penyanderanya dan sebaliknya takut akan para penegak hukum yg akan membebaskan mereka. Para tawanan mulai percaya bahwa para penyanderanya betul-betul melindungi mereka dari polisi. Seorang wanita kemudian malah terikat pada salah seorang kriminal, dan seorang lagi menggalang dana bagi pembebasan kriminal itu. Jelas bahwa para penyandera memiliki "ikatan" secara emosional dengan para penangkapnya.


(baca lebih banyak lagi dari sumber tulisan ini...)
---------------

Sungguh mengherankan psikologi manusia. Ketika ia berada dalam kekuasaan yang penuh kekerasan, ia malah jatuh cinta pada sang pelaku kekerasan. Alih-alih membenci sang pelaku, ia malah memuja-mujanya secara berlebihan. Apakah bisa ditarik sebuah kesimpulan: manusia akan mencintai orang yang memiliki kekuasaan (menghukum atau melakukan tindak kekerasan) atas dirinya?

Baru-baru ini teman saya di conference, menyalahkan dirinya sendiri ketika cowoknya berselingkuh; yeah..cowoknya ini adalah orang yang suka melecehkan dirinya dengan kata-kata beridiom "tingkat itelejensia rendah". Dan seperti biasanya, wanita korban kekerasan rumah tangga sering merasa merekalah yang merupakan sumber masalah dan pantas ditindak dengan kekerasan oleh suami mereka (baca tentang korban malah merasa bersalah atau dibuat merasa bersalah tersebut di artikel-artikel terkait di bawah ini)

Tidak heran kalau Jean Rostand, Thoughts of a Biologist (1939) mengatakan:
Kill one man, and you are a murderer
Kill millions of men, and you are a conqueror
Kill them all, and you are a god
Apakah preasumsi seperti ini yang mendasari tindak kekerasan dalam banyak perploncoan di berbagai institusi pendidikan saat ini?


Artikel terkait:
- Wikipedia: Stockholm Syndrome, klik di sini untuk versi bahasa indonesia
- North Dakota Council: Domestic Violance
- Indiana Laws: Profile of a Victim
- California Divorce.Info: Domestic Violance: Dont't Fall Victim
- Counselling Seattle: What is Domestic Violance
- Kompas.com: Genk Nero
- Okezone: Setahun Beraksi, Geng Nero Banyak Makan Korban
- Kompas.com: Kasus STPDN Terulang di STIP, Cilincing
- Detik.com: Sejak 90-an 35 Praja IPDN Tewas, Hanya 10 Kasus Yang Terungkap

9 comments:

Anonymous said...

preasumsi seperti itu mungkin bisa ditanyain sama yang memulai mode perploncoan, entah sapa itu saya juga ndak tau :p

coz klo saya lihat, perploncoan di negeri ini hanya berurusan sama yang namanya riwayat turun temurun, alias 'dulu saya kena, ya yg baru masuk harus ngerasain jg'

but.. its just my own opinion :D

Anonymous said...

masak sih ? baru kali ini nemuin kasus kayak gini. karena ketika temanku dijadikan sasaran kekerasan ama suami, dia gak nyalahkan dirinya sendiri. ketika suaminya berselingkuh juga sama.

tak baca2x linksnya dulu ah.

Anonymous said...

tanpa ber-intensi menyentil SARA ;)) (hanya sedikit mengajak diskusi)

mercury itu seorang "Javanese Syndrome" wekekeke mungkin nanti docwong bisa masukin lagi bahasan Javanese Syndrome. Banyak loh pengidapnya di INdonesia terutama di wilayah Pulau Jawa.

Atau mungkin saya bisa meminjam istilah "Bahasa Inggris Setengah Matang"-nya Mince dan Benny dan memodifikasinya menjadi "Bahasa Indonesia Setengah Matang"

Mencampur bahasa daerah dengan Bahasa Indonesia di ranah Nasional mungkin bisa membuat salah paham atas pesan yang disampaikan dalam komunikasi memakai bahasa.

Seperti kalimat "tak baca2x linksnya dulu ah" sempat membuat saya mengernyitkan kening berusaha menyatukan kedua alis saya yang terpaut tulang hidung.

tak baca2x dalam ranah Bahasa Indonesia yang berlaku Nasional berarti "Tidak baca linknya dulu ah"

Tetapi dalam Boso Jowo artinya tak adalah Saya. Yang berarti kalimat itu menjadi "Saya baca2x linksnya dulu ah"

Tentu kalimat tersebut menjadi dua hal yang bertolak belakang sama sekali.

Bila orang yang tidak mengenal bahasa Jawa (yang mungkin memiliki angka signifikan mengingat wilayah Nusa antara yang luas sekali ini) tentu akan mengalami kesalahan menangkap esensi dari komunikasi memakai Bahasa Indonesia yang dilakukan melalui blog ini.

Nah lain halnya dengan sodara Mahendra yang mencampur English dengan Bahasa Indonesia itu tidak menjadi masalah besar. Mengingat, hampir semua Warga Nasional Indonesia berpendidikan minimal SMP di negeri ini sudah bisa membaca dan mengerti English. Juga kalimatnya tidak lari mengingat tidak ada similaritas kata dalam English dan Indonesia yang dapat mengakibatkan kerancuan pengertian.

Tetapi tentu saja, prilaku mencampur-campur Bahasa kadang bisa bikin cape yang membacanya. Kembali lagi meminjam istilah Benny dan Mince, "Bahasa Inggris Setengah Matang"

Nih bagaimana kalo bahasa dicampur aduk seperti ini. Kacau ga?Ya walau yang ngerti ya tetap akan mengerti, kalau yang ga? Kan jadi semacam Enkripsi bagi mereka.

"I khan you orang nge-Lasagna di pinggir Canal Pasar Baru sambil hear-in lagu lau su ai da mi"

Ayo dok ayo, bahas Javanese Syndrome. wekekekeke. Pisss.

doc_wong said...

@mahendra:
setuju, sepertinya itu semacam lingkaran setan yang diwariskan turun temurun

@mercuryfalling:
baguslah, jangan sampai korban malah menyalahkan diri sendiri. Seperti ketika ada yg dijambret, lalu rame-rame kita menyalahkan korban: siapa suruh lu pakai kalung emas ke pasar, dll. Justru yang salah adalah si pelaku, bukan korban

@sateayam:
oke bos, tetapi berikutnya rencananya sih cinderella syndrome dulu

Anonymous said...

agh ceritanya dapet banget sama kasus yang ada dimari.

dan kenapa ya bisa begitu???

Anonymous said...

Saya memandang kasus yg berbeda sama sekali antara penyandera dan PIL.

Kasus Penyandera kemgknan besar
org2 itu telah dicuci otaknya.

sdgkn PIL/WIL itu masalah kepercayaan.

So Kasusnya beda sekali.
kekekekkkee

Celoteh Riang said...

Setuju sama michael_lung

Dd said...

1. mengapa manusia cenderung menganiaya orang yang mencintainya?

2. mengapa manusia mencintai tuhan , padahal setan lah pusat dari segala kenikmatan.

3. patron tertinggi dari umat kristen adalah yesus , juga sang teraniaya , kembali ke pertanyaan 1....kenapa manusia cenderung menganiaya orang yang mencintainya?

4. mengapa sang ibu mencintai anaknya , padahal melahirkan seorang anak itu ibarat bermain rolet russia , anda tetap hidup anda beruntung , anda mati tetap menjadi martir , sementara suami menjadi pemandu sorak di balik kejantanannya ........

mengapa manusia mencintai dirinya sendiri , sementara mereka tersandera dalam beberapa lapis , tersandera oleh kerangka fisik mereka , terikat seperti tawanan dalam terra incognita

5. why , why , tak sempat kubahas tuntas , karena tanganku gatal2 ingin menganiaya mu

Anonymous said...

bagi yang mau tau mengenai cuci otak bisa masuk ke blog saya. dengan url http://psikologi2.blogspot.com/

Thank you
Michael