Wednesday, June 15, 2011

Damn Kho Ping Ho!

Abangnya teman saya meninggal dunia. Sakit keras. Kritis. Dan kemudian segala seperti berjalan dalam slow motion, tanpa suara. Adiknya, yakni temanku itu, kemudian menangis... Saya sungguh mengerti perasaannya. Dia mengirimkannya via bbm:
"Tangisan pertamaku adalah kalimat yang selalu disebut ibuku, kalau mau berburu harimau, harus dengan saudara kandung. itu yang saya tangiskan. Siapa yang akan menjaga aku sekarang..."

Tiba-tiba, hal itu menyeretku kembali kepada tanggal 23 Desember 2007, hari di mana Amah (nenek)-ku, akan ditutup peti matinya. As we know, saat dimana kesedihan paling memilukan dari sebuah upacara pemakaman adalah ketika sedokan tanah pertama menutup liang kuburan; dan sebelumnya, ketika peti mati hendak ditutup. Perasaan bahwa kita tidak akan pernah bisa lagi melihat orang yang kita sayangi untuk selama-lamanya, sungguh susah dideskripsikan...

Tapi semua itu buyar gara-gara Kho Ping Ho!

Adalah ketika bertahun-tahun yang lalu, jaman SMP dulu, buku-buku tipis kecil itu yang menemani waktu senggangku, mengisahkan bagaimana para pendekar mengalami naik turunnya drama kehidupan dalam mengatasi kesulitan, membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan. Karya Kho Ping Ho sungguh memukau; tetapi ada satu bagian yang terpatri kuat dalam ingatanku.

Saya tidak ingat judulnya apa, tetapi saat itu dikisahkan bahwa seorang kakek tua menggunakan rakit sedang menjauh menyelamatkan seorang gadis dari musuh-musuhnya. Sang gadis menangis mengharukan, sebab saudarinya mati terbunuh di sana. (Well, aku tidak ingat persis ceritanya, namun kira-kira seperti ini dialognya)

"Kakak, jangan tinggalkan aku....," ratap sang gadis

"Apa yang kau tangisi?" Kakek tua itu menukas, "Memangnya hidup di dunia ini lebih baik daripada dunia bagi yang sudah meninggal? Lagipula, kamu sedang menangisi dirimu sendiri karna ditinggal kakakmu atau menangisi kakakmu yang meninggal itu?"

...

Karna karya prosa Kho Ping Ho inilah, ketika almarhum amah-ku hendak ditutup peti matinya--kami disuruh berkumpul untuk melihat beliau untuk yang terakhir kalinya, untuk selama-lamanya--saya dilanda perasaan campur aduk untuk menangis. Apakah saya mau menangis karena saya kasihan pada diri saya sendiri ditinggalkan amah, ataukah saya benar-benar menangisi amahku tersayang yang meninggal itu....

Damn you, Kho Ping Ho! But, still, you God damn right! Salut untukmu...


Image diambil dari sini